Ketika Semuanya Naik, Saatnya Go Green

           BBM naik, uang kos naik, uang kuliah naik, suhu bumi juga naik, sampai berat badan pun ikutan naik. Memang sih sekarang ini semuanya pada naik semua dari hal yang terkecil sampai hal terbesar. Hal yang paling terasa hidup di Pekanbaru itu suhunya, wah, udah terkenal sama panas dari minyaknya, ditambah global warming tambah keringat setiap saat. Kalau sudah begitu, nggak ada cara lain lagi, selain back to nature atau istilah kampanye nya go green.

            Sebagai sebuah provinsi penghasil minyak, Riau emang punya suhu yang nggak bisa dibandingkan sama dinginnya kota Bukittinggi. Senaik-naiknya suhu Bukittinggi gara-gara GM (global warming-pen) masih parah naiknya suhu di Pekanbaru. Terlebih lagi sebagai salah satu tujuan kota pelajar di pulau Sumatera, setiap tahunnya penduduk kota Pekanbaru terus bertambah dengan datangnya mahasiswa baru dari berbagai daerah. Nggak ada yang salah sih sama pertambahan penduduk, tapi pemakaian transportasi itu lho, yang bikin suhu disini makin lama makin nggak bersahabat. Pemakaian kendaraan bermotor yang udah nggak kehitung jumlahnya terus meningkatkan jumlah produksi CO2 dan juga perkantoran yang terus bermunculan disana sini dengan pemakaian AC dalam jumlah yang sangat banyak meningkatkan jumlah Freon yang bertebaran di udara. Gimana nggak bolong itu lapisan ozon kita?

            Pemakaian kendaraan bermotor dan AC emang bikin semuanya menjadi lebih mudah dan nyaman. Tapi efek jangka panjangnya itu lho, nggak tahan…Kalau di kampus, penulis sendiri emang lebih suka ngadem di ruangan ber-AC daripada angin sepoi-sepoi (wong anginnya nggak pernah ada, dimana letak sepoi-sepoinya). Penulis masih bersyukur lingkungan kampus banyak menanam pohon disana sini untuk membuat udara menjadi lebih adem daripada yang seharusnya.

            Kembali ke go green, sebenarnya udah banyak pihak yang mencoba untuk mempromosikan hal tersebut. Keadaan di masyarakat perkotaan yang udah biasa praktis membuat mereka nggak mau kembali lagi ke alam. Paling pas liburan aja, pergi mainnya ke sawah untuk merasakan sejuknya alam ini. Penulis sendiri nggak terlalu nyaman dengan suhu Pekanbaru. Maklum setelah 17 tahun hidup dibawah nyamannya suhu pegunungan harus bermigrasi ke kota yang penuh polusi dan suhu yang naik drastis. Ngomong-ngomong soal polusi, nggak bisa dipungkiri lagi kalau udara perkotaan itu penuh sama asap knalpot, asap rokok, sampah dimana-mana, yang bikin suasana makin gerah.

         Saya mendukung sekali lho kalau pemerintah kota mau terus menjalankan program penanaman pohon, apalagi dengan banyaknya pembakaran hutan yang terjadi di Pekanbaru dan menghasilkan musim asap setiap tahunnya sebagai musim ketiga di Provinsi Riau. Tentang pembuangan sampah, sepertinya sistemnya harus lebih diperbaiki lagi, termasuk masyarakatnya yang sadar akan pemakaian barang-barang rumah tangga. Kalau bagi penulis sendiri, banyak sampah yang masih bisa di daur ulang sebelum kita benar-benar membuangnya. Seperti kertas, bekas kaleng, bekas tempat minyak, semuanya masih bisa kita gunakan, kan kita generasi kreatif, jadi semua hal bisa menjadi suatu hal yang berguna bagi kita. Kasihan juga kertas tiap hari dibuang, soalnya makin banyak pohon yang harus ditebang untuk menghasilkan kertas.

            Ngomong-ngomong soal transportasi, back to bycicle yuk. Penulis udah lama banget mau belajar sepeda, eh pas kuliah disini baru bisa. Enaknya main sepeda itu di daerah pegunungan yang suhunya nyaman di badan. Belajar sepeda di kota itu, penuh keringat. Waktu awal-awal belajar sepeda, itu keringat kayaknya udah menuhin baskom (lebay ah). Awal-awalnya emang susah belajar sepeda itu, apalagi penulis nggak ada yang ngajarin, belajar sendiri di komplek kost-an. Butuh kesabaran dan semangat untuk akhirnya bisa mengayuh sepeda dengan lancar. Sampai sekarang, penulis masih sering jatuh bangun sama sepeda, sampai sepeda yang umurnya baru 3 minggu itu udah lecet sana sini, termasuk sama saya pengendaranya sendiri. Baru belajar sepeda udah lecet sana sini, sepedanya lebih banyak lecet dibanding yang ngendarain, habis saya menyelamatkan diri sendiri dulu dibanding sepeda, hehe. Kalau saya sendiri, ya lecet juga, nggak sampai luka, paling biru biru kena kayuh sepeda.

           Pengalaman pertama mengendarai sepeda di jalan umum itu emang deg-degan banget. Bentar-bentar berhenti, bentar rem mendadak, soalnya takut ketabrak, masalahnya saya berhenti dan nge rem nya itu di tengah jalan (nah lho, gimana nggak rawan kecelakaan). Nggak jarang pas awal-awal saya hampir ketabrak, hampir jatuh, sama diomelin sama pengguna jalan lainnya. Masih belum lancar kok nekat bawa ke jalan? Tapi sampai sekarang masih sering rem mendadak dan juga berpotensi sering jatuh, habis rem saya sensitif banget, kalau udah ngerem bawaannya jatuh terus.

Main sepeda bareng sahabat di hari pertama gowes ke kampus

            Walah, jadi curhat. Nah ya itu, bersepeda itu mengasyikkan kok. Cuma kalau di kota yang bercuaca panas kayak Pekanbaru ini ya siap-siap mandi keringat. Mau berangkat kuliah udah wangi-wangi, eh pas nyampe kampus udah hilang ditelan keringat, pulangnya juga kayak gitu, apalgi kalau pulangnya antara jam 2-4 siang, udah deh, mandi keringat. Tapi saya nggak nyesel kok harus gowes ke kampus. Selain hemat ongkos, hemat uang jajan, dan hemat kemana-mana juga baik untuk kesehatan. Kan jarang juga olahraga kalau udah ngampus, jadi bersepeda bisa jadi alternatif olahraga tiap hari. Syaratnya bagi kaum hawa cuma satu kalau mau ikutan gowes, FREKUENSI MANDI LEBIH DIBANYAKIN, ini penting. Penting banget. Kan badan jadi lengket-lengket nggak jelas gitu kalau udah sepedaan. Mungkin kalau cowok keringatan itu keren, tapi kalau cewek keringatan? Nggak lucu banget.

            Sekian dulu cerita saya sore ini, soalnya petir udah nyambar-nyambar untuk mendinginkan Pekanbaru (trus hubungannya apa?). Pokoknya saatnya kita back to nature, kalau mau hidup lebih sehat, aman, nyaman, tentram, dan damai di bumi kita tercinta ini. Salam Go Green!!!


Wassalamualaikum....

Komentar